Pages

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Dekapan Sederhana


Dekapan Sederhana
Kuputuskan ‘tuk menutup mata sejenak, walau itu sangat susah. Entah bagaimana caranya memaksa kelopak manja yang bertaut mesra di antara tirainya. Sulit, saat kelopak itu tak mau dipaksa untuk terpejam. Dan sulit, saat kelopak itu  benar-benar terpejam hingga tak mau membelalak. Ah, serba salah.
            Aku terus mencoba dengan setitik asa yang tersisa. Detik terlewat begitu saja, tapi belum bisa kutaklukkannya. Menaklukkan kelopak mata agar terhanyut dalam pejaman. Pejaman yang kuharap bisa memberi sedikit ketenangan. Sang bayu mendesir pelan. Merambati jiwaku yang terdiam dalam kelam malam. Ku nikmati setiap semilirnya, halus dan sejuk. Memberi ketenangan sesaat.
Ketenanganku tergugah saat bombardir kenangan pahit terungkit kembali. Air mataku luruh jatuh satu persatu membasahi pipi yang putih bersih. Aku tersedu, merunduk sepi. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Melampaui ribuan rintangan di depan sana, atau tetap berjalan dengan kabut penyesalan tanpa jawab?
Ku tengadahkan kepala menatap langit luas. Menatap rasi bintang di atas sana, yang memberi keindahan tiada tara. Andai saja bintang-bintang itu bisa mendengarku, ‘kan kukatakan bahwa aku benar-benar merindukan sesosok pria. Aku rindu! Sangat merindunya. Rindu saat dua insan merebahkan tubuh di atas atap, menatap langit penuh kemanjaan. Seringkali mencercah doa-doa sederhana atas hubungan kita. Tuhan, aku merindunya. Sungguh!!! Semakin kuingin melupakan, semakin kuingin bersamanya. Bersama-sama kembali memadu kisah sederhana. Tapi itu tak mungkin. Sebentar lagi ia akan menjalin suatu hubungan resmi dengan wanita yang dulu pernah dicintainya.
****

Drrttt… Drtt… Drrttt… Handphone-ku bergetar, sesegera mungkin kuraih. Kutatap layarnya, terpampang jelas namanya. Nama seseorang yang sangat kurindukan. Tapi entah mengapa ada sedikit kebencian dalam hatiku. Aku kecewa dengannya. Kecewa dengan segala keputusannya. Aku kecewa, tapi aku merindunya.
“Arrrgh…. Ngapain, sih?” Gerutuku dengan mengepalkan kedua tangan.

To: Vera
Temui aku di kafe pukul 04.00 sore.
            Dengan sedikit rasa kesal, aku pun beranjak memasuki kamarku yang berhias nuansa biru laut. Merebahkan tubuh di antara tumpukan-tumpukan kapas lembut yang telah dipintal. Pikiranku kembali diserbu oleh ribuan keraguan. Jujur, aku tak sanggup menepisnya. Aku meragukannya, meragukan seseorang yang mencintaiku. Meski aku tahu bahwa aku juga mencintainya.
“Oh, Tuhan, tunjukkan jalanMu!” Gumamku seraya memejamkan mata. Ku biarkan jendela menganga lebar, hingga senja menyapaku dalam balutan selimut biru. Ya! Aku terlelap. Kulihat jam menunjukkan pukul 06.00 sore. Sudah jelas sekali bahwa aku terlambat. Dengan polesan bedak ala kadarnya, langsung saja kulangkahkan kaki menuju garasi mobil, tempat di mana mobilku terparkir nyaman.
****
Sedan hitam sudah menantiku di depan kafe. Kulihat tak ada mobil lain yang terparkir di sebelahnya. Tanpa pikir panjang, aku pun memarkirkan mobilku di sana.
Pintu kaca dengan ornament-ornamen daur ulang menyambutku ketika kudorong pintunya. Masih sama seperti tiga tahun yang lalu, tak ada perubahan. Bau mint ruangannya juga masih sama. Ya! Aku ingat betul saat-saat itu. Saat di mana aku sering berkunjung di tempat ini. Menghabiskan senja bersama cinta, menorehkan kisah bersama dunia, dan menitikkan hati bersama kafe ini. Harus kuakui, aku memang tak bisa melupakan kenangan itu.
“Hai, Ver!” Sapa seorang pengunjung kafe yang kukenal.
“Hai, Nad!” Balasku sembari mengumbar senyum sumringah.
“Sudah ditungguin tuh sama pacar kamu!” Ujar Nadia setelah menyeruput susu cokelatnya. Sontak aku tercengang dengan ucapannya. Bagaimana tidak? Saat ini aku tak memiliki pacar. Entahlah! Jantungku semakin berdegub kencang, antara tetap menemui lelaki itu atau tidak. Segenap hati berusaha mempercayakan diri. Akhirnya, kupaksakan kakiku menuju meja di ujung barat.
Lelaki berbalut T-shirt abu-abu, terdiam. Tangan kanannya menyangga dagunya. Sementara tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja kafe. Kami terdiam, tak ada yang memulai pembicaraan. Lelaki dihadapanku sesekali mengerling ke arahku.
“Kamu ngapain ngajak aku ke sini?” Tanyaku, menyipitkan mata tajam. Vandy tak menggubris pertanyaanku. Masih saja ia terdiam. Ini membuatku semakin kesal.
“Van, kamu dengerin nggak, sih?”
“Ya?! Aku dengerin kok! Dari tadi kamu ngomel-ngomel juga aku dengerin.”
“Terus???”
“Terus apa?” Sahutnya pelan. Vandy memang terkenal dengan sifat santai dan cueknya. Tapi, sifat seperti inilah yang tidak pernah kusuka.
“Please deh, Van! Ternyata kamu masih sama kayak dulu. Kamu nggak pernah bisa ngertiin aku. Kamu nggak pernah bisa ngehargai perasaanku!”
Lagi-lagi, Vandy mengacuhkan ucapanku. Bola mata hitam itu terpejam, entah apa yang ia pikirkan. Buliran air mata tersangga di pelupuk ini. Aku mencoba bertahan. Menerpa segala cobaan di depanku. Detik itu, jiwaku terasa ditekan oleh batu karang. Aku tak tahu harus bagaimana. Ingin sekali menyadarkan bahuku padanya, tapi itu tak mungkin. Tuhan, kumohon tunjukkan jalanmu.
“Ver!” Sapanya lirih. Aku beralih memandangnya. Sorotan matanya yang tajam dan penuh kemisteriusan, ini yang aku suka. Ya! Aku suka mata itu. Aku mencintanya. Sungguh mencintainya. Tak ada sisa. Tapi, keraguan kerap sekali mengahantui batinku. “Dengerin gue!” Vandy meraih kedua telapak tanganku.
“Mau apa? Apa yang harus aku dengar? Sudah, jangan halangi aku.” Tandasku sambil melepas cengkeramannya Relung jiwa semakin tak menentu. Haruskah aku masih mengharap cinta yang dulu? Atau berlalu mencari penggantinya?
Aku berlari-lari kecil keluar dari kafe. Menahan air mata yang hampir saja merembet di permukaan pipi. Kutahan rasa sakitku, sakit atas semua yang telah terjadi. Saat itu aku benar-benar berharap Vandy mengejarku dan memelukku dalam dada bidangnya. Tapi, konyol! Semua itu konyol. Ah, entahlah.

***
Aku kembali menyambut malam yang senantiasa tersenyum ramah. Di sini, di atap penuh kenangan ini. Aku ingin mengenang kisah cinta terindah. Merogoh memori yang sempat terkubur dalam-dalam. Mencoba mengingat segalanya, sejak awal sampai detik ini. Detik di mana ‘tak kudapati sesosok pria yang semula ada.
Tanpa terasa kuteteskan air mata ini. Yang tiada berhenti mengiringi kisah di hati. Buliran hadir tanpa diundang. Berkelok-kelok di pipi, melewati dagu dan kemudian lenyap menapak di tanah. Tak ada seberkas tisu ‘tuk menyekanya. Tak ada sosok yang menghapus rinai itu dengan sapuan tangan lembut. Tuhan, kumohon hentikanlah. Aku tak kuasa menahan luka ini.
Desiran angin malam membelai lembut tubuhku. Melewati sela-sela jemari yang tergenggam. Kudongakkan kepala, memejamkan mata, merasakan senyapnya angin malam. Menusuk! Semakin kutenggelam dalam kelam malam, semakin ‘tak kusadari ada sesosok pria di sampingku. Matanya dipenuhi binar air mata.
“Ver..” suara lejitan itu mengagetkanku. Aku tahu itu suara Vandy. Tiba-tiba ia memeluk tubuhku erat-erat. Menelungkupkan wajahku dalam dada bidangnya. Sontak aku menjerit, memukul-mukul tubuhnya, menolak pelukan itu. Apalah dayaku, pelukan Vandy tak kunjung lepas, dan aku merasakan ketenangan di dalamnya.
“Ver, kumohon maafkan aku! Aku ingin menjadi kekasihmu lagi.”
“Itu tidak mungkin, Van. Aku tahu, kamu bakalan nikah, kan? Sudah, berbaliklah. Dia mencintaimu tulus, Van.”
“Tidak, Ver. Aku sudah membatalkan semuanya. Aku masih sayang kamu, Ver. Sungguh!” Ujarnya, kemudian melepas pelukan mesra itu.Senyuman mulai merekah, menciptakan lekukan istimewa di bibir. Ia menggenggam kedua telapak tanganku. Tanpa protes, aku pun menerimanya dengan lapang. Kami berdua merebahkan tubuh di atas atap. Menerawang langit yang penuh makna cinta.
Vandy, seseorang yang begitu berharga telah kembali.
Cinta memanglah hasrat yang sulit dijangkau nalar manusia. Susah dimengerti kapan cinta itu bersatu, dan kapan cinta itu terpisah. Tapi, aku sadar bahwa cinta yang berharga namun sederhana, akan kembali dalam dekapan secara sederhana pula. Tak perlu rumit, namun pasti.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

smkn sugihwaras mengatakan...

follback ya http://addyosdgaraz.blogspot.com/

Fauzi mengatakan...

Artikelnya bagus2
izin repost ya mbak ?

Posting Komentar