Sendal Jepit Cinderlela
01.02 |
Segera terbit! Buku kumcer dongeng yang dimodifikasi dengan gaya modern, tersaji dengan berbagai judul dan beberapa khas ke-modern-an para penulis.
Mawar
merah tak kunjung bermekaran, daun-daun mulai berguguran, dan hewan-hewan imut
memasang raut kesedihan. Tetesan-tetesan air mata berlinang di sebuah kasur
bernuansa ungu. Tempat di mana seorang puteri cantik terlentang tak berdaya. Rambutnya
tergerai indah, menjuntai dengan sempurna. Bibir tipisnya yang imut, kini telah
pucat pasi. Bola matanya yang indah tak lagi terpancar, bahkan kini bola itu
telah tenggelam dalam kelam kegelapan. Tertutup rapat, bertirai bulu mata.
Krekkk….. Terdengar derit pintu terbuka. Tujuh orang
kurcaci memasuki rumahnya. Mereka yang tak tahu menahu, tiba-tiba terkejut ketika
melihat puteri salju tergeletak. Mereka tak tega melihat sahabatnya terluka tak
berdaya, tak dapat menepis kebahagiaan lagi. Buliran-buliran air mata mulai
merembet di permukaan pipi. Mencipta kelokan-kelokan air tak beraturan.
Beberapa tangan halus menggenggam jemari Puteri Salju. Mencoba menciptakan
kehangatan.
“Ahhhhh….. Ini pasti ulah si Ratu itu! Sungguh, ibu tiri
yang sangat kejam!” Geram si Cukil, salah satu dari tujuh kurcaci.
****
Gerbang Kerajaan terkuak lebar. Seluruh jendela kaca
dibiarkan menganga. Dari satu sudut jendela, seorang wanita berbalut gaun hijau
toska membusungkan dadanya, penuh kebanggaan. Kedua tangannya bersendekap di
dada, di antara manik-manik yang menghias gaun itu.
“A…. Hahahahaha…. Hahahahaha…” Tawanya menggelegar,
seakan ingin memecahkan seluruh kaca jendela dalam Kerajaan itu. Masih saja ia
berdiri di sana, di tempat yang sama. Tanpa menggeser tubuhnya sedikit pun.
Kini, ia semakin bangga atas kemenangan dirinya. Kemenangan yang dinanti, telah
berpihak padanya. Setelah puas memamerkan gigi-giginya pada rumput bergoyang,
sesegera mungkin ia beranjak pergi. Melangkahkan kaki menuju ruangan
kesayangannya. Ruang di mana banyak sekali spion-spion mobil berjajar di
dinding marmer. (Snow White-Novelia Indri Susanti)
Mau tahu kelanjutan ceritanya?
Tunggu tanggal terbitnya! ^_^
Tunggu tanggal terbitnya! ^_^
00.37 |
Aku
dan Senja
oleh: Novelia Indri Susanti
Aku berlari menuju padang ilalang..
Menerjang siul angin yang berhembus mesra..
Dingin menggerayangi tubuh yang kian melemah…
Menciptakan rasa ngilu dalam jiwa..
Senja pun datang..
Menyambut puing-puing bahagia yang tersisa..
Di sini..Di antara ilalalang ini..
Terlukis sebuah kenangan antara kau dan aku..
Peraduan cinta, kasih, duka, dan lara..
Masing tertinggal di sini..
Senja…..ingkatkah kau saat-saat itu?
Saat dimana kau torehkan warna-warni cinta..
Merombak luka yang mendera..
Membelah kisah yang tersudut….
Di antara klise-klise kesedihan..
Senja…
Masih-kah kau simpan kenangan itu?
Ku harap begitu..
Agar tak ada lagi perasaan ragu untukku…
Ilalang masih tak berhenti melambai..
Ku sembulkan guratan senyum padanya….
Semoga sampai kapanpun Ilalang itu akan menjadi
saksi kita..
Ya! Antara aku dan kau, Senja…
Jerat_Esti Kinasih
00.32 |
Jerat
Esti Kinasih
"Deb,
dapet salam dari Rizky."
Debby
mendengus. "Iya," jawabnya malas.
"Salam
balik, nggak?"
"Kamu
aja, deh."
"Aku?"
Vita mengangkat alis. "Yang dapet kan kamu?"
"Males,
ah."
Vita
menatapnya sejenak kemudian menarik kursi ke depan Debby.
"Kayaknya dia
marah, lho. Kamu sih, tiap hari
dikirimin salam nggak
pernah dibales. Bales,
dong.
Sekali-sekali, gitu."
"Entar
dikiranya aku naksir, lagi."
"Soalnya
begini, Deb," Vita memelankan suaranya, tubuhnya beringsut maju sampai
menempel
di
meja. "Kemarin dia cegat aku, dikiranya aku nggak pernah sampaikan
salam-salamnya itu ke
kamu. Aku
sampai sumpah kalo
nggak pernah lupa.
Dia kayaknya marah.
Terus dia bilang
begini; 'Vit, bilang ya, sama Debby.
Suatu saat nanti aku pasti bisa
menangkapnya tanpa dia
bisa
menghindar, apalagi lari dariku'. Begitu."
"Begitu?!"
seru Debby dengan tubuh serentak bangkit. "Menangkap? Ayam kali! Sembarangan
aja
ngomong!"
Vita
tertawa geli.
"Pokoknya
aku sudah sampaikan ya, ke kamu. Hati-hati, lho. Lagipula, kenapa sih nggak
mau?"
"Masa kamu
nggak denger storinya?
Waktu sekolah kita
ngadain kemping bersama
bulan
kemaren
itu, aku kan pingsan. Abis jalannya jauh banget.
Mana hujan lagi, becek lagi,
terus
dingin
lagi. Waktu sadar, aku sudah ada di pelukannya. Kamu tau kata pertama yang
kudengar
begitu
membuka mata? 'Debby ternyata kamu lumayan seksi juga'."
"Hah?!"
Vita terbelalak.
"Iya.
Apa itu nggak kurang ajar?"
"Kalian
cuma berdua?"
"Enggaklah.
Yang pingsan kan bukan cuma aku."
"Berarti...."
"Jangan
mikir macam-macam!" potong Debby galak. Vita langsung menutup mulutnya.
Keesokan harinya,
begitu menginjakkan kaki
di sekolah, dengan
emosi Debby langsung
berkeliling
mencari Rizky.
"Hai!"
Cowok itu menyambutnya surprais.
"Kamu
ngomong apa ke Vita?" Debby berkacak pinggang dan menatapnya tajam.
"Apa? Oh,
itu?" Rizky tertawa
lebar. "Ternyata pemberitahuan malah
ampuh, ya. Satu
pun
salamku
nggak ada yang kamu balas. Tapi ternyata
pemberitahuanku malah bisa membawamu
ke
depanku."
"Kamu
ngancam?"
"Bukan. Aku kan sudah
bilang itu pember itahuan. Suatu
saat kau akan jadi
pacarku, Deb,"
Rizky
menjawab tenang. Debby ternganga.
"Jangan
sok yakin!" semburnya.
"Kita
liat aja."
***
Entah karena
sugesti atau juga
karena salamnya yang
terhenti, kalimat Rizky
menghantui
pikiran
Debby. Mata itu tajam menembusnya waktu mengucapkan ancaman itu.
"Menurutmu
apa yang akan dilakukannya?" Debby berjalan hilir mudik di depan Vita.
"Atau, apa
dia
sungguh-sungguh?"
"Iya."
Vita mengangguk, membuat Debby jadi tambah patah semangat.
"Dengan
bilang ke orang-orang peristiwa waktu aku pingsan itu?"
"Bukan.
Dia bukan model cowok begitu. Dia gentle. Dan aku yakin caranya pun, ya cara
cowok
jantanlah.
Tapi yang jelas dia nggak akan bikin malu kamu."
Aduh,
Tuhan, syukur! Debby menghela napas lega.
"Kira-kira
apa yang mau dia bikin, ya?"
"Dia
menjemputmu tiap pagi?"
"Nggak."
"Terang-terangan
merhatiin kamu dengan mata tajamnya itu?"
"Nggak
juga," Debby menggeleng. Vita mengerut kening dan mencubiti bibirnya.
"Maksa
ngantar kamu pulang?"
"Aku
malah nggak pernah ngeliat dia tiap bel pulang berbunyi. Pasti dia langsung
sibuk dengan
klub
basketnya."
"Jadi
dengan apa, dong?" Vita ikutan bingung.
"Jalan
halus!" Debby kaget sendiri dengan dugaannya.
"Pelet?!
Guna-guna?! Masa, sih? Jangan ngaco, ah!"
"Terus apa,
dong? Sekarang coba
kamu pikir...." Debby meloncat
ke tempat tidur.
Mukanya
tegang,
"tiap ketemu, dia selalu biasa-biasa aja. Tetap ramah, tetap baik, nggak
usil, nggak jail.
Pokoknya
semua berjalan seperti biasa. Wajar, tenang, aman. Terus apa?"
"Menunggu
marahmu hilang mungkin?"
"Nggak
mungkin!" desah Debby sambil kembali mondar-mandir.
***
Debby bingung memikirkan kemungkinan tindakan yang
akan diambil Rizky. Dia sudah tanya
beberapa
orang, begitu siuman dari pingsan itu. Jawabannya, tidak ada hal kurang ajar
yang
dilakukan. Cowok
itu memang yang
menggendongnya sepanjang jalan.
Yang membungkus
tubuhnya dengan
tiga lapis jaket
tebal. Yang menungguinya
sampai sadar. Cuma...
waktu
siuman,
membuka mata dan hanya menjumpai Rizky seorang, ditambah kalimat kurang ajar
itu,
apa
iya....
Dan
itu membuatnya jadi kesal terhadap Rizky, sampai sekarang. Pasti ada sesuatu
yang sudah
dilakukannya. Karena
tiap kali mereka
bertemu, sepasang mata
itu selalu merangkumnya
hangat.
Ditambah senyumnya yang rasanya mengundang suatu makna tersembunyi.
"Deb!"
Sebuah tepukan di bahu membuat Debby terlonjak dan seketika sadar dari lamunan.
"Kamu!
Pelan-pelan, dong! Aku kaget, tau!" sungutnya sambil menepuk-nepuk dada.
"Sori,
deh. Katanya suruh riset?" Dengan tenang Vita duduk di depannya. Tak
merasa bersalah
sudah
membuat Debby nyaris semaput. "Aku sampai ditanyain macem-macem gara-gara
idemu
itu."
"Gimana?
Gimana?" Debby bergegas menggeser kursinya.
"Menurut beberapa
orang yang kena
pelet, tanda-tandanya begini...." Vita
diam sejenak,
menoleh
kiri-kanan untuk memastikan keadaan
cukup aman untuk
pembicaraan mereka. "Di
kamarmu nanti
akan tercium wangi
parfumnya Rizky atau
bahkan bau badannya
selama
seminggu
penuh."
"Idiiih!"
Debby terngaga.
"Ke mana
pun kamu pergi, kamu akan
ngeliat wajahnya, walaupun setelah
didekati ternyata
bukan. Dan
ini yang paling, Deb. Raba
hatimu. Biasanya ada
perubahan drastis. Kamu
jadi
mikirin
dia. Jadi gelisah kalau nggak ngeliat dia sebentaaaarr aja. Malah keadaan jadi
berbalik.
Kamu
yang akan ngejar-ngejar dia!"
Debby
tercengang.
"Jalannya
gimana? Masa tiba-tiba begitu?"
"Cukup
sedikit sentuhan. Misalnya dia negur kamu. Dicolek sedikit, meskipun cuma
seujung jari,
itu
bisa membuatmu tergila-gila sama dia.
Banyak jalan, sih. Namanya juga
ilmu begitu. Tapi
aku nggak
mau tanya banyak-banyak. Soalnya
semua yang kutanya,
mengira aku lagi
mau
melet
seseorang."
"Selalu
begitu tanda-tandanya?"
"Aku kan cuma
tanya tiga orang. Aku rasa sih, tanda-tandanya pasti juga
banyak macamnya
karena
jalannya juga macam-macam."
Debby
mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan menarik napas panjang.
***
Debby
terbangun tergeragap. Wangi bunga melati menyentak hidungnya. Jantungnya seketika
berderas keras.
Pasti ini kiriman
dari Rizky! Bergegas
ditekannya saklar lampu.
Sebuah
mangkuk
mungil penuh berisi bunga melati segar terletak di mejanya. Diambilnya mangkuk
itu
dan
diperhatikannya isinya. Masih segar,
seperti baru dipetik. Dibawanya mangkuk itu
keluar.
Detti,
kakaknya, sedang menonton TV sambil memegang sebuah mangkuk juga, penuh berisi
bunga
melati segar.
"Ini
kerjaanmu, ya?"
"Nggak
bisa tidur," jawab Detti tanpa menoleh. "Baunya enak, kan?"
"Kupikir
ada hantu," Debby menggerutu membuat Detti terkekeh.
Bikin
kaget aja! Dia melangkah kembali ke kamar. Sampai sempat ketakutan tadi. Ditaruhnya
kembali
mangkuk itu ke tempatnya. Tapi dia jadi tak bisa melanjutkan tidur.
Kantuknya lenyap
karena terbangun
kaget tadi. Iseng
dibukanya album foto
yang sudah diseleksi
dengan
tahapan-tahapan
yang amat sangat ketat, ternyata masih ada juga
foto-foto Rizky yang lolos.
Nggak tanggung-tanggung, tiga! Nggak
mungkin dibolongin karena
cowok itu ada di tengah,
merangkul
Saga dan Farid.
Dikeluarkannya ketiga
foto itu dan
dibariskannya di atas
kasur. Lalu sambil
tengkurap dan
memeluk bantal,
dipandangnya satu per
satu. Wajah Rizky
terekam jelas di
salah satunya.
Alisnya bagus.
Tebal, hitam dan
bersambung. Matanya kadang
tajam, kadang juga
teduh.
Rahangnya
kokoh. Debby tersenyum sendiri, tenggelam dalam khayal.
Ganteng juga,
desisnya. Astaga! Dia
langsung tersadar. Serentak
bangun sambil menutup
bibirnya yang
ternganga. Apa yang
barusan diucapkannya? Dia
bilang cowok ini
ganteng!
Ganteng?!
Ya, ampun! Aku kena pelet! Debby terduduk mematung.
Ah,
nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia menggelengkan kepala berkali-kali. Coba diliat
lagi.
Pasti
tadi nggak sadar ngomong begitu. Sekali lagi diperhatikannya ketiga foto itu.
Dan gadis itu
makin
tercengang ketika pandangannya ternyata tidak berubah.
Bener, aku
kena pelet, desahnya
panik. Dulu-dulu Rizky
menurutnya biasa-biasa aja.
Norak
malah, dengan
sifat agresifnya yang
nggak tau malu
itu. Kenapa sekarang
tiba-tiba jadi
ganteng,
ya? Debby menatap foto itu sambil menelan ludah.
***
"Tiba-tiba aja
di mataku dia jadi ganteng!
Keren. Aku pikir karena
baru bangun tidur, masih
setengah
ngimpi, jadi keliatan macho. Tapi tadi pagi waktu mau berangkat, aku liat lagi
fotonya.
Kok masih juga keliatan ganteng itu anak, ya?" Debby melapor dengan perasaan resah. Vita
terbahak-bahak
mendengarnnya.
"Semua
orang bilang dia emang cakep, kok. Kamu aja yang matanya cureng."
Debby
melotot.
"Dia
kurang ajar, tau nggak? Makanya sekali-sekali kamu pingsan deh, deket dia.
Begitu melek,
tau-tau sudah
dipeluk, dibilang seksi
lagi," sungutnya, membuat
Vita tambah tertawa-tawa.
Peristiwa
pingsan itu memang sangat membekas dan dia selalu dongkol tiap kali teringat.
"Aku
pasti
udah kena pelet," keluhnya
memelas. "Tiba-tiba aja
aku sering mikirin dia. Pernah titip
salam
lagi, nggak?"
"Ngapain?
Udah banyak yang mubazir."
"Marah
ya, dia?"
"Jelaslah.
Cecil aja patah hatinya sampai begitu. Cinta nggak kesampaian. Belum si
Retno yang
rajin cari
perhatian. Kamu yang
ditaksir malah kabur-kaburan. Kalo
dia marah, terus
kamu
dipelet,
ya bisa jadi. Kamu kadang keterlaluan, sih!"
Debby terdiam.
Perlahan dia menjatuhkan diri
ke kursi di
samping Vita. Mungkin
apa yang
dikatakannya
itu benar.
Jam istirahat
tiba-tiba Rizky muncul
di kelas, membuat
Debby kaget setengah
mati. Setelah
hampir dua
bulan salamnya terhenti dan perjumpaan mereka yang bisa dihitung dengan jari,
Debby langsung
menduga yang bukan-bukan.
Tapi ternyata, tanpa
menoleh Rizky langsung
menghampiri Iwan,
yang memang salah satu anggota
tim basket sekolah. Mereka berbicara
dengan
suara pelan dan selama itu pula mata Debby tak berhenti memandangnya. Was-was.
Pembicaraan
selesai. Rizky berjalan keluar. Ketika melewati Debby, kedua matanya memandang
tajam
namun disertai senyum.
"Halo,
Seksi," ucapnya pelan disertai jentikan jari dan kedipan mata. Debby
kontan terkesima.
Mematung
menatap Rizky sampai hilang di balik pintu.
"Vita! Kamu
denger, nggak?!" Dengan
panik
diguncang-guncangkannya
lengan Vita yang
sedang
serius berat menyalin pe-er.
"Ada
apa, sih?" Vita menoleh kesal.
"Rizky...,"
lapor Debby terengah. "Dia negur aku
barusan. Dan dia masih manggil
aku 'Seksi'.
Terus
tadi dia ngeliatin aku sambil menjetikkan jari. Vit, pasti tadi itu pelet. Iya,
kan? Bisa pakai
jalan
begitu, kan?"
"Mana
Rizky?" Vita celingukan.
"Barusan
dia ke sini. Ngomong sama Iwan. Kamu ini nyontek melulu, sih...."
"Terus
kamu diapain? Cuma diliatin? Itu kan wajar."
"Oh,
iya? Wah, bisa jadi. Mungkin bukan pelet, tapi hipnotis."
"Yaaah, terus
gimana, dong?" Debby semakin panik. "Kamu bilangin dia deh, Vit. Suruh pergi
jauh-jauh!"
Aduh,
ngerepotin aja! Vita menggerutu.
"Aku
bilang ke dia, tapi kamu selesaikan pe-erku. Gimana? Inggris sama Kimia,
lho."
"Kecil!
Mana bukumu?"
"Nah,
gitu dong. Jangan nyuruh orang kerja gratisan melulu." Vita mengulurkan
dua buah buku,
lalu
berjalan keluar. Dasar phobia Rizky, gerutunya. Lima belas menit kemudian dia
kembali.
"Apa
katanya?" sambut Debby was-was.
"Dia bilang dia
nggak akan ganggu kamu. Apalagi pakai pelet. Dosa, katanya. Dia juga
bilang,
nanti
kamu sendiri yang akan datang ke dia."
"Hah?!"
***
"Hei!"
"Eh,
gimana?" Rizky bertanya tanpa menoleh pada seseorang yang barusan menepuk
bahunya,
lalu
berdiri di sampingnya.
"Beres.
Tapi sepi banget di sana."
"Jelas
aja. Musim ulangan."
"Yakin
bakalan dia yang nemuin?"
"Yakin!"
Rizky
tersenyum tipis tanpa
mengalihkan matanya dari
sosok Debby di
kejauhan. Kail sudah
dilemparkan!
***
Pada awalnya,
Debby sempat stres
dan ketakutan. Tapi
perlahan... perasaan itu
menghilang
karena
ternyata Rizky tidak melakukan apa pun seperti yang sempat dia bayangkan.
Cowok itu
malah menjaga jarak.
Tidak memberikan senyum,
apalagi menyapa pada
saat
mereka
terpaksa berpapasan atau berada bersamaan di suatu tempat.
Debby mulai
tenang dan hari-harinya
kembali normal. Dia
bahkan mulai berani
lalu-lalang
dengan
tenang di depan Rizky. Tak
menyadari sepasang mata cowok itu
menatapnya dengan
kilatan
yang mengandung suatu rencana tersembunyi.
"Kamu,
sih. Rizky itu baik. Kamunya aja yang pikirannya terlalu."
"Jaga-jaga
boleh, dong?"
"Iya,
tapi aku yang jadi malu. Dia...."
"Alaaaah, udah,
deh. Sori. Namanya
aja orang lagi
panik." Debby meringis.
"Eh, aku nemu
undangan,
di Sekretariat OSIS."
"Adrianto,
SE dengan Astuti K. Siapa?"
"Mana
aku tau. Aku temuin menggeletak di ruang OSIS. Comot aja. Kita bakalan makan enak
dan
gratis."
"Undangannya
keren bener." Vita membalik-balik
benda di tangannya. "Kita juga
mesti dandan
keren,
dong?"
"Sekali-sekalilah."
***
Sabtu sore,
keduanya yang memang
hobi gerilya cari
makanan gratis, sudah
rapi jali sejak
pukul
setengah tujuh.
"Seksi
amat?" Vita terbelalak memandang penampilan Debby.
"Pingin
aja." Debby meringis lucu. "Nggak ada yang kenal ini."
Acara
baru saja dimulai ketika keduanya tiba.
"Salaman
dulu, nggak?" tanya Vita dan langsung disambut cibiran bibir.
"Sok
sopan!"
Vita
terkekeh dan mengikuti Debby menuju stand-stand makanan.
"Kambing
guling!" pekik Debby tertahan. "Ini dia!"
"Asyiiik!" Vita
menyambut senang. Detik
berikutnya kedua gadis
itu benar-benar tenggelam
dalam
kesibukan berburu makanan gratis.
Tengah asyik-asyiknya mereka
menikmati hidangan, tiga
orang cowok berbusana
Jawa
mendekati
mereka.
"Halo,
teman Mbak As atau Mas Adri?" salah satu bertanya. Keduanya langsung
gelagapan. Dan
itu
membuat cowok-cowok itu jadi curiga.
"Ada
tamu nggak diundang." Dia memandang teman di sebelahnya.
"Kata siapa
nggak diundang? Sembarangan!" Debby
langsung menukas. "Undangannya di
rumah
karena nggak harus dibawa, kan? Kami teman Astuti!" jawabnya nekat.
"Begitu?" Cowok
itu tersenyum. "Kalian belum
kasih selamat, kan?"
Langsung diraihnya
pergelangan tangan
Debby dan menggenggamnya. Seorang
temannya mengikuti, meraih
tangan
Vita. Tanpa daya, keduanya pasrah digiring ke pelataran berkarpet merah dadu
itu. Dan
Debby nyaris
saja pingsan begitu melihat pasangan mempelai itu.
Keduanya ternyata sudah
cukup berumur.
Entah karena telah
kawin, atau mungkin
ini bukan lagi
perkawinan mereka
yang
pertama.
"Rizky?"
Debby tertegun ketika mengenali
cowok yang berdiri tak jauh dari mempelai wanita,
yang
rupanya juga kaget melihatnya. "Ky, dia bilang aku nggak diundang."
Dipelototinya cowok
berbaju
Jawa itu tajam-tajam sambil berjalan menghampiri Rizky dan memeluk lengannya.
"Oh,
pacarmu, Ky? Bilang-bilang, dong! Aku
pikir penyelundup." Cowok itu mengangkat kedua
tangannya
dan tersenyum meminta maaf. "Pacarnya Rizky!" teriaknya sambil turun.
Debby
tersadar dan seketika menoleh.
"Terlambat!"
bisik Rizky demi melihat keterkejutan itu.
Debby berbalik
dan memucat ketika mendapati
dirinya sendirian. Vita
menghilang entah ke
mana,
begitu juga dengan cowok-cowok berbusana Jawa tadi.
Disibaknya uraian rambutnya dengan panik. Tidak mungkin berlari turun
dari panggung, akan
mengundang pertanyaan. Sekian puluh mata, bahkan mungkin lebih dari
seratus, kini tengah
memandangnya.
Dibaliknya badan. Rizky tengah menunggu dan memandangnya dengan sorot
mata yang tak
bisa
menyembunyikan kekagumannya.
"Ayo, salami
mereka." Diraihnya tangan
Debby dan menggenggam
lembut jari-jarinya.
"Tanteku."
"Eh,
se... selamat," gugup Debby mengulurkan tangannya.
Tiba-tiba
berkumandanglah sebuah pengumuman yang mahadahsyat.
"Para hadirin
yang terhormat," ucap
MC ayu berkebaya
merah jambu itu
lengkap dengan
senyum
manisnya. "Pada saat ini, berdiri di sisi kiri mempelai adalah salah
seorang keponakan
dari
mempelai wanita. Kiranya para hadirin yang terhormat sudi memberikan selamat, karena
keduanya
akan segera menyusul ke pelaminan dalam waktu dekat."
Debby terhenyak.
Suara tepuk tangan
bergemuruh dan berebutlah
'para hadirin yang
terhormat'
itu naik panggung dan menyalami mereka.
"Terima kasih...
terima kasih...." Rizky
menyahut ramah sambil
mati-matian menahan tawa.
Lengan
kirinya menyangga tubuh Debby yang sudah setengah sadar.
Sekian
Alasan Kerajaan Volcart
06.17 |
Alasan Kerajaan Volcart
oleh: Novelia Indri Susanti
Air terjun mengalir deras menghujam bebatuan yang siap diguyur. Tanpa protes, bebatuan di bawah sana menerima dengan pasrah. Airnya menciprat ke segala arah, termasuk permadani-permadani hijau segar. Peri kecil memutuskan untuk mengepakkan sayapnya, terbang mendekati air terjun keindahan. Merasakan bau air yang khas kemurniaanya, harum sekali. Semerbaknya membuat peri kecil betah berada di sini.
Tiba-tiba, ia teringat suatu hal. Menengok ke kanan dan kiri, namun sesuatu yang ditunggu-tunggu tak kunjung hadir. Akankah malam ini dia hadir? Entahlah, yang pasti peri kecil akan bersikukuh menunggunya. Ia terbang turun ke bawah, mencari tempat berteduh yang nyaman. Dibalik semak belukar, ia merebahkan tubuhnya seraya menghempaskan napas kelelahan.
“Hai, Peri kecil! Kau mau apa di sini?” Tanya Ratu Kerajaan Voscart. Kerajaan Voscart adalah suatu Kerajaan di mana penduduknya adalah ribuan kunang-kunang, para peri kecil dan bidadari. Kerajaan Voscart memiliki beberapa aturan, salah satu di antaranya adalah: bagi peri-peri kecil dilarang bertemu dengan kunang-kunang Kerajaan. Peraturan tersebut sudah berlaku sejak lama, dan sampai detik ini tak ada satu pun peri kecil yang berani bertemu dengan kunang-kunang.
“Em,” Peri kecil bergumam. “Tidak, Bunda! Aku hanya ingin merasakan kesejukan saja.” Ujarnya yang sarat akan kebohongan. Bibirnya yang mungil menyeringai lebar. Memamerkan gigi-gigi putih beraturan.
“Kau yakin, sayang?” Tanya Ratu dengan nada lembut. Jemari tangannya menyentuh pipi peri kecil. Peri kecil hanya mengangguk dan tersenyum samar. Ia berusaha menunjukkan pada Ratu bahwa tak ada sesuatu yang dirahasiakannya. Ratu membalasnya dengan senyuman pula. Kemudian Ratu melangkahkan kaki meninggalkannya sendiri.
Awan gelap membumbung di langit luas. Bintang berkelipan memberi setitik terang dalam keremangan. Peri kecil duduk bersimpuh seraya memandang langit penuh ketenangan. Matanya tertuju lurus ke arah langit, tanpa berkedip. Desiran angin yang berhembusan merasuki tulang belulang. Terasa ngilu sekali.
“Tuhan, izinkan peri bertemu dengan kunang-kunang itu. Tuhan, peri tidak tahu, kenapa Kerajaan Voscart melarangku bertemu dengan kunang-kunang. Padahal, mereka cantik sekali!” Gumam peri, masih memandang langit. Bibir merah jambu itu dibasahi oleh liurnya. Bola mata kelabunya sesekali melirik air terjun yang mengalir deras, menciptakan bunyi alunan alam.
Tak beberapa lama, kumpulan kunang-kunang berterbangan di dekat air terjun. Peri kecil terpesona, mulutnya menganga lebar. Betapa cantiknya kunang-kunang itu, kecil namun memberi setitik penerangan yang indah. Mereka berhamburan bebas, seperti menanti kebebasan yang nyata di setiap detiknya. Ya! Mereka memang tak memiliki kebebasan, kecuali di malam hari.
“Hai, hai, hai!” Sapa peri kecil sambil melambaikan tangannya. Semua kunang-kunang tertuju pada tempat di mana suara sapaan itu berasal.
“Hai, peri kecil? Untuk apa kau malam-malam berada di sini? Bukankah Kerajaan melarangmu bertemu dengan kami?”
“Aku hanya ingin melihat kalian.” Ujar peri dengan memasang tampang polos dan cemberut. Kedua tangannya bersendekap di dada. “Kenapa sih Kerajaan melarangku bertemu kalian?” Tandasnya.
“Peri, Kerajaan memiliki alasan kuat untuk itu!”
“Apa???” Tanya peri. Matanya menyipit tajam, penuh tanda tanya.
“Kami diwajibkan ke luar setiap malam, karena keindahan tubuh kami hanya bersinar dalam kegelapan saja. Sedangkan mengenai aturan bahwa peri dilarang bertemu kami, karena konon jika kita saling bertemu, kekuatan kita akan berkurang.” Peri kecil mengangguk mengerti. Setelah percakapan berakhir, kunang-kunang pergi meninggalkannya.
Langganan:
Postingan (Atom)