Dekapan Sederhana
Kuputuskan
‘tuk menutup mata sejenak, walau itu sangat susah. Entah bagaimana caranya
memaksa kelopak manja yang bertaut mesra di antara tirainya. Sulit, saat
kelopak itu tak mau dipaksa untuk terpejam. Dan sulit, saat kelopak itu benar-benar terpejam hingga tak mau
membelalak. Ah, serba salah.
Aku terus mencoba dengan setitik asa yang tersisa. Detik
terlewat begitu saja, tapi belum bisa kutaklukkannya. Menaklukkan kelopak mata
agar terhanyut dalam pejaman. Pejaman yang kuharap bisa memberi sedikit
ketenangan. Sang bayu mendesir pelan. Merambati jiwaku yang terdiam dalam kelam
malam. Ku nikmati setiap semilirnya, halus dan sejuk. Memberi ketenangan
sesaat.
Ketenanganku
tergugah saat bombardir kenangan pahit terungkit kembali. Air mataku luruh
jatuh satu persatu membasahi pipi yang putih bersih. Aku tersedu, merunduk
sepi. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Melampaui ribuan rintangan di depan
sana, atau tetap berjalan dengan kabut penyesalan tanpa jawab?
Ku
tengadahkan kepala menatap langit luas. Menatap rasi bintang di atas sana, yang
memberi keindahan tiada tara. Andai saja bintang-bintang itu bisa mendengarku,
‘kan kukatakan bahwa aku benar-benar merindukan sesosok pria. Aku rindu! Sangat
merindunya. Rindu saat dua insan merebahkan tubuh di atas atap, menatap langit
penuh kemanjaan. Seringkali mencercah doa-doa sederhana atas hubungan kita.
Tuhan, aku merindunya. Sungguh!!! Semakin kuingin melupakan, semakin kuingin
bersamanya. Bersama-sama kembali memadu kisah sederhana. Tapi itu tak mungkin.
Sebentar lagi ia akan menjalin suatu hubungan resmi dengan wanita yang dulu
pernah dicintainya.
****
Drrttt…
Drtt… Drrttt… Handphone-ku bergetar, sesegera mungkin kuraih. Kutatap layarnya,
terpampang jelas namanya. Nama seseorang yang sangat kurindukan. Tapi entah
mengapa ada sedikit kebencian dalam hatiku. Aku kecewa dengannya. Kecewa dengan
segala keputusannya. Aku kecewa, tapi aku merindunya.
“Arrrgh….
Ngapain, sih?” Gerutuku dengan mengepalkan kedua tangan.
To: Vera
Temui aku di kafe pukul
04.00 sore.
Dengan sedikit rasa kesal, aku pun
beranjak memasuki kamarku yang berhias nuansa biru laut. Merebahkan tubuh di
antara tumpukan-tumpukan kapas lembut yang telah dipintal. Pikiranku kembali
diserbu oleh ribuan keraguan. Jujur, aku tak sanggup menepisnya. Aku
meragukannya, meragukan seseorang yang mencintaiku. Meski aku tahu bahwa aku
juga mencintainya.
“Oh,
Tuhan, tunjukkan jalanMu!” Gumamku seraya memejamkan mata. Ku biarkan jendela
menganga lebar, hingga senja menyapaku dalam balutan selimut biru. Ya! Aku
terlelap. Kulihat jam menunjukkan pukul 06.00 sore. Sudah jelas sekali bahwa
aku terlambat. Dengan polesan bedak ala kadarnya, langsung saja kulangkahkan
kaki menuju garasi mobil, tempat di mana mobilku terparkir nyaman.
****
Sedan
hitam sudah menantiku di depan kafe. Kulihat tak ada mobil lain yang terparkir
di sebelahnya. Tanpa pikir panjang, aku pun memarkirkan mobilku di sana.
Pintu
kaca dengan ornament-ornamen daur ulang menyambutku ketika kudorong pintunya.
Masih sama seperti tiga tahun yang lalu, tak ada perubahan. Bau mint ruangannya
juga masih sama. Ya! Aku ingat betul saat-saat itu. Saat di mana aku sering
berkunjung di tempat ini. Menghabiskan senja bersama cinta, menorehkan kisah
bersama dunia, dan menitikkan hati bersama kafe ini. Harus kuakui, aku memang
tak bisa melupakan kenangan itu.
“Hai,
Ver!” Sapa seorang pengunjung kafe yang kukenal.
“Hai,
Nad!” Balasku sembari mengumbar senyum sumringah.
“Sudah
ditungguin tuh sama pacar kamu!” Ujar Nadia setelah menyeruput susu cokelatnya.
Sontak aku tercengang dengan ucapannya. Bagaimana tidak? Saat ini aku tak
memiliki pacar. Entahlah! Jantungku semakin berdegub kencang, antara tetap
menemui lelaki itu atau tidak. Segenap hati berusaha mempercayakan diri. Akhirnya,
kupaksakan kakiku menuju meja di ujung barat.
Lelaki
berbalut T-shirt abu-abu, terdiam. Tangan kanannya menyangga dagunya. Sementara
tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja kafe. Kami terdiam, tak ada yang memulai
pembicaraan. Lelaki dihadapanku sesekali mengerling ke arahku.
“Kamu
ngapain ngajak aku ke sini?” Tanyaku, menyipitkan mata tajam. Vandy tak
menggubris pertanyaanku. Masih saja ia terdiam. Ini membuatku semakin kesal.
“Van,
kamu dengerin nggak, sih?”
“Ya?!
Aku dengerin kok! Dari tadi kamu ngomel-ngomel juga aku dengerin.”
“Terus???”
“Terus
apa?” Sahutnya pelan. Vandy memang terkenal dengan sifat santai dan cueknya.
Tapi, sifat seperti inilah yang tidak pernah kusuka.
“Please
deh, Van! Ternyata kamu masih sama kayak dulu. Kamu nggak pernah bisa ngertiin
aku. Kamu nggak pernah bisa ngehargai perasaanku!”
Lagi-lagi,
Vandy mengacuhkan ucapanku. Bola mata hitam itu terpejam, entah apa yang ia
pikirkan. Buliran air mata tersangga di pelupuk ini. Aku mencoba bertahan.
Menerpa segala cobaan di depanku. Detik itu, jiwaku terasa ditekan oleh batu karang.
Aku tak tahu harus bagaimana. Ingin sekali menyadarkan bahuku padanya, tapi itu
tak mungkin. Tuhan, kumohon tunjukkan jalanmu.
“Ver!”
Sapanya lirih. Aku beralih memandangnya. Sorotan matanya yang tajam dan penuh
kemisteriusan, ini yang aku suka. Ya! Aku suka mata itu. Aku mencintanya.
Sungguh mencintainya. Tak ada sisa. Tapi, keraguan kerap sekali mengahantui
batinku. “Dengerin gue!” Vandy meraih kedua telapak tanganku.
“Mau
apa? Apa yang harus aku dengar? Sudah, jangan halangi aku.” Tandasku sambil
melepas cengkeramannya Relung jiwa semakin tak menentu. Haruskah aku masih
mengharap cinta yang dulu? Atau berlalu mencari penggantinya?
Aku
berlari-lari kecil keluar dari kafe. Menahan air mata yang hampir saja merembet
di permukaan pipi. Kutahan rasa sakitku, sakit atas semua yang telah terjadi.
Saat itu aku benar-benar berharap Vandy mengejarku dan memelukku dalam dada
bidangnya. Tapi, konyol! Semua itu konyol. Ah, entahlah.
***
Aku
kembali menyambut malam yang senantiasa tersenyum ramah. Di sini, di atap penuh
kenangan ini. Aku ingin mengenang kisah cinta terindah. Merogoh memori yang
sempat terkubur dalam-dalam. Mencoba mengingat segalanya, sejak awal sampai
detik ini. Detik di mana ‘tak kudapati sesosok pria yang semula ada.
Tanpa
terasa kuteteskan air mata ini. Yang tiada berhenti mengiringi kisah di hati.
Buliran hadir tanpa diundang. Berkelok-kelok di pipi, melewati dagu dan
kemudian lenyap menapak di tanah. Tak ada seberkas tisu ‘tuk menyekanya. Tak
ada sosok yang menghapus rinai itu dengan sapuan tangan lembut. Tuhan, kumohon
hentikanlah. Aku tak kuasa menahan luka ini.
Desiran
angin malam membelai lembut tubuhku. Melewati sela-sela jemari yang tergenggam.
Kudongakkan kepala, memejamkan mata, merasakan senyapnya angin malam. Menusuk!
Semakin kutenggelam dalam kelam malam, semakin ‘tak kusadari ada sesosok pria
di sampingku. Matanya dipenuhi binar air mata.
“Ver..”
suara lejitan itu mengagetkanku. Aku tahu itu suara Vandy. Tiba-tiba ia memeluk
tubuhku erat-erat. Menelungkupkan wajahku dalam dada bidangnya. Sontak aku
menjerit, memukul-mukul tubuhnya, menolak pelukan itu. Apalah dayaku, pelukan
Vandy tak kunjung lepas, dan aku merasakan ketenangan di dalamnya.
“Ver,
kumohon maafkan aku! Aku ingin menjadi kekasihmu lagi.”
“Itu
tidak mungkin, Van. Aku tahu, kamu bakalan nikah, kan? Sudah, berbaliklah. Dia
mencintaimu tulus, Van.”
“Tidak,
Ver. Aku sudah membatalkan semuanya. Aku masih sayang kamu, Ver. Sungguh!”
Ujarnya, kemudian melepas pelukan mesra itu.Senyuman mulai merekah, menciptakan
lekukan istimewa di bibir. Ia menggenggam kedua telapak tanganku. Tanpa protes,
aku pun menerimanya dengan lapang. Kami berdua merebahkan tubuh di atas atap.
Menerawang langit yang penuh makna cinta.
Vandy,
seseorang yang begitu berharga telah kembali.
Cinta
memanglah hasrat yang sulit dijangkau nalar manusia. Susah dimengerti kapan
cinta itu bersatu, dan kapan cinta itu terpisah. Tapi, aku sadar bahwa cinta
yang berharga namun sederhana, akan kembali dalam dekapan secara sederhana
pula. Tak perlu rumit, namun pasti.
2 komentar:
follback ya http://addyosdgaraz.blogspot.com/
Artikelnya bagus2
izin repost ya mbak ?
Posting Komentar